Rabu, 16 Desember 2009

Sebelumnya saya merasa kecewa melihat kenyataan bahwa kebanyakan mahasiswa fakultas hukum justru bersikap apatis terhadap problematika hukum disekitarnya, malah tampak seperti “dikebiri” karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah kebobrokan penegakkan hukum. Tak jarang malah terlihat disibukkan dengan urusan-urusan pencapaian prestasi pribadi, supaya dapat Indeks Prestasi 4, cepat lulus dan segera bekerja di perusahaan-perusahaan asing dengan penghasilan besar. Saya tak peduli jika hal-hal seperti itu menjadi tujuan para mahasiswa dari disiplin ilmu lain, tapi karena kondisi itu yang justru terjadi di kalangan mahasiswa fakultas hukum, saya justru menjadi muak.

Banyak yang menjadikan predikat “cum laude”, “lulus 3 setengah tahun”, dan “berhasil bekerja di perusahaan” sebagai tolak ukur keberhasilannya. Tapi benarkah output seperti itu yang diharapkan oleh para pendiri fakultas hukum dulu? Apakah output seperti itu yang kalian harapkan, wahai mahasiswa fakultas hukum? Kalau memang jawabannya adalah “iya’’, maka sebaiknya kalian segera memutuskan untuk pindah kuliah ke fakultas lain. Apa jadinya fakultas hukum, bila mahasiswanya hanya berorientasi untuk mencapai kesuksesan secara individual seperti itu? Betapa “cetek”nya tolak ukur keberhasilan yang mereka idam-idamkan. Mereka melupakan esensi kelulusannya dari fakultas hukum kelak, yaitu sebagai generasi penegak hukum yang mampu menjamin terpenuhinya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan di tengah masyarakat.

Betapa bahayanya bila lulusan fakultas hukum masuk ke ranah litigasi tanpa kompetensi yang memadai. Bahkan selama dipersidangan, sangat mungkin terjadi pembelokkan-pembelokkan fakta, rekayasa tindak pidana, serta upaya pengintimidasian terhadap saksi dan Terdakwa. Saya sampai geleng-geleng kepala, membayangkan jika kondisi seperti itu dialami oleh orang2 awam yang sedang menjalani proses hukum di luar sana. Sebenarnya itu bukan sekedar imajinasi saya, sampai saat ini banyak sekali orang tidak bersalah yang dikorbankan oleh mafia peradilan. Ironisnya, lulusan mahasiswa fakultas hukum yang berprofesi menjadi pengacara sangat sedikit yang berpihak pada “wong cilik”, malah sibuk mencari klien dari kalangan koruptor yang mengantongi rupiah hasil curian dari rakyat, atau sibuk mencari klien pasangan artis yang ingin cerai supaya kecipratan populer.

Ternyata banyak mahasiswa fakultas hukum yang belum memahami esensi kehadirannya di belantika hukum Indonesia. Selama saya masih sekedar menjadi jaksa atau pengacara dalam sebuah simulasi persidangan, maka itu belum berarti apa-apa. Ketika kemarin saya dan teman-teman telah menapaki langkah pertama dalam sebuah proses pencarian keadilan dan penegakkan hukum yang sebenarnya, maka hari esok akan menjadi langkah berikutnya dan jalan ini akan saya susuri tanpa peduli ujungnya dimana, ataupun mungkin bila pencarian keadilan dan penegakkan hukum ini memang tak ada ujungnya, maka langkah ini tak akan saya hentikan.

Lihatlah rakyat sekitar kita dan mereka yang sedang menderita
Ulurkanlah tanganmu kawan, wujudkan dengan karya nyata
satukan derap langkah bersama, wujudkan tekad kita yang mulia
walaupun rintangan menghadang, bangun jiwa bela sesama
(petikan lagu “Mars Fakultas Hukum)

Lagu itu kiranya merepresentasikan bagaimana mahasiswa dituntut untuk peduli dan berkontribusi konkrit. Lagu itu menginsipirasi saya untuk menulis. Menulis tentang keprihatinan atas upaya berbagai pihak menggerus kepedulian dan konsolidasi mahasiswa.
Tentu kita memahami bahwa mahasiswa merupakan bagian dari kaum borjuasi kecil. Artinya sejak awal mahasiswa memang berada di posisi intermediari (penghubung). Tidak langsung merasakan penderitaan dan punya kases untuk mnegadakan hubungan dengan penguasa. Dan tentu saja memiliki knowledge dan sarana prasarana penunjang. Kini, mahasiswa semakin tercerabut dari lingkungan perjuangannya. Sistem pendidikan yang ada dibuat sedemikian rupa hingga kemampuan ktirik sosial mahasiswa perlahan menghilang. Materi yang diberikan sungguh mengerikan. Materi yang menekankan agar mahasiswa lekas lulus dengan IPK baik dan akhirnya menjadi buruh2 perusahaan. Lulus cepat dengan IPK baik tentu menjadi idaman setiap mahasiswa. Namun filosofi pendidikan sejatinya bukanlah itu. Ki Hajar Dewantara mngatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan. Bukan sebaliknya justru menjadi seseorang menjadi maaf (budak) secara fisik maupun pemikiran.

Upaya penggerusan kemampuan kritis sosial mahasiswa pun terlihat jelas pada konsep pengenalan kampus yang kini ada. Tidak hanya itu, kampus semakin dijauhkan dari lingkungan masyarakat sekitar dengan berbagai uapya termasuk memasang portal dimana-mana. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa bisa menerikan perlawanan untuk membela mrakyat miskin jika dia tidak pernah melihat rakyat miskin. Karena setiap hari berngakat kuliah naik mobil pribadi dan hanya melewati lingkungan kampus yang eksklusif. Ekslusifitas kampus tersebut akhirnya terus ditutupi dengan dalih ingin agar situasi belajar kondusif. Ini sungguh tak wajar karena sejatinya kampus ini didirikan dnegan semangat kerakyatan. Bahkan dahulu tidak hanya mahasiswa yang boleh belajar, anak SMP pun diperbolehkan ikut kuliah. Sungguh bagai kacang lupa kulitnya.

Kini,jalan satu2nya adalah melawan.
Kini, menjadi saat untuk kembali merebut kampus kita..


Sumber : tulisan dari mbak laras dan mbak indah dg proses editing… semoga mahasiswa lebih sadar akan eksistensinya….

Tidak ada komentar: